Minggu, 10 Juni 2012

Case Study 2010

”Sulitnya Anak Memparafrasekan Puisi”

                        SD Negeri 01 Botosari, di sinilah saya mengajar sejak tahun 2007. Sebuah SD yang berada dibawah bukit dan sejauh mata memandang yang terlihat adalah barisan bukit yang berjajar dengan indahnya  dan menyejukkan hati bila dipandang itu menurut pendapat saya. Namun keadaan SD tidak sebegitu indah dengan barisan bukit di atasnya.
Ruang kelas hanya ada empat ruangan dengan keadaan yang tidak begitu baik dan dua ruang kelas di sket menggunakan triplek. Masuk keruangan kelas tidak begitu menyenangkan, ruangan kelas yang sempit, dindingnya yang kusam, dan banyak bangku juga meja siswa yang rusak membuat para siswa tidak nyaman untuk melakukan kegiatan belajar mengajar.
Mengajar di SDN 01 Botosari merupakan suatu tantangan bagi saya karena saya dituntut untuk mengajar anak-anak dengan keadaan kelas yang hanya dipisahkan oleh  sket yang berupa triplek, bisa dibayangkan bagaimana merdunya suara guru lain yang ada didekat kelas saya sampai terdengar begitu jelas ditelinga dan saya akui kondisi kelas yang seperti ini mampu menyurutkan tekad dan semangat saya. Tapi sekali lagi ini adalah suatu tantangan dan saya harus bisa.
Hari ini rabu, 27 Januari 2010, tepat pukul 07.15, bel sekolah berbunyi. Para siswa segera bergegas menuju kelas masing-masing. Demikian juga para guru mulai memasuki kelas sesuai dengan kelas masing-masing. Demikian juga saya, segera memasuki ruang kelas VI.
Pagi itu saya mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang aprsisasi  sastra, yaitu memparafrasekan puisi. Pada kegiatan pembelajaran tersebut siswa tidak hanya dituntut mampu membaca puisi dengan penghayatan dan ekspresi yang baik, tetapi juga harus mampu mengubah puisi menjadi sebuah cerita atau prosa.
Setelah mengabsen kehadiran siswa saya memulai dengan mengajukan sebuah pertanyaan, “ Anak-anak, siapa di antara kalian yang senang membaca puisi ? ”
Hampir semua anak yang berjumlah dua puluh  dua siswa mengacungkan tangan. Beberapa siswa ada yang tidak mengangkat tangannya.
                        ” Kenapa kamu tidak suka membaca puisi, Yaudin ?”
                        ” Malu, bu ! ”
                        ” Kalau kamu Tiwi ? ”
                        ” Tidak tahu artinya bu, jadi sulit membacanya.”
                        ” Baik, anak-anak, supaya kita bisa senang  membaca puisi memang harus tahu arti yang terkandung dalam puisi tersebut. Kata-kata dalam sebuah puisi memang bisa mempunyai arti yang berbeda-beda sesuai dengan maksud pengarangnya. Coba kalian dengar dengan baik puisi yang
akan Ibu bacakan berikut. Pada akhir kegiatan ini nanti kalian harus bisa mengetahui arti yang terkandung di dalamnya dengan cara menyusun kembali puisi ini ke dalam bentuk cerita bebas atau yang disebut membuat parafrase.
Kemudian saya membacakan puisi berjudul ” Semalam di Medan Laga ” dengan penuh penghayatan dan ekspresi. Anak-anak tampak mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka bertepuk tangan begitu saya selesai membacakan puisi tersebut. Saya berharap mereka memberikan tepuk tangan secara ikhlas. Kemudian saya minta beberapa siswa supaya membacakan puisi tersebut di depan kelas. Saya sangat senang karena beberapa siswa dapat membacakan puisi dengan tidak malu-malu dan berekspresi. Tetapi ada juga siswa yang masih malu dan tak berani menatap ke depan. Ada juga siswa yang membaca dengan vokal yang tidak jelas. Tapi itu tak menjadi masalah utama. Dalam pembelajaran ini yang penting siswa dapat mengetahui arti yang terkandung dalam sebuah puisi. Kemudian saya memulai pelajaran bagaimana memparafrasekan puisi dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
            ” Nah, anak-anak, apakah kalian tahu arti dari kalimat  Kini mentari menyambut mesra ” Ternyata anak-anak tidak serta merta dapat menjawab. Saya sengaja membiarkan mereka tampak merenung untuk mencari jawabannya. Karena tak ada satu pun yang menjawabnya, saya berusaha memberikan pancingan dengan pertanyaan berikut,
            ” Anak-anak, siapakah yang dimaksud dengan kata mentari dalam baris puisi tersebut ?”
                        ” Matahari, bu ! ” Jawab mereka serempak.
                        ” Baik. Apakah mentari benar-benar menyambut mesra ? ” Mereka terdiam sejenak.
                        ” Tidak, bu . mentari tidak bisa menyambut mesra.” jawab salah seorang siswa.
                        ” Bagus. Kalau begitu, Kini mentari menyambut mesra yang dimaksud dalam puisi tersebut artinya apa, ya ? Mungkin kamu bisa mengartikannya ? ” Tanyaku pada siswa yang baru saja memberikan jawaban tadi.
                        Sampai beberapa waktu tak ada siswa yang mau memberikan makna dari kata yang diutarakan tersebut. Akhirnya saya harus membimbing siswa mencari makna denotasi dari setiap kata kias yang ada dalam puisi Semalam di Medan Laga. Tentu saja saya juga harus membimbing mereka memilih kata-kata kias yang ada dalam puisi tersebut. Setelah semua kata konotasi diterjemahkan ke dalam arti kata sesungguhnya, saya meminta siswa membuat  sebuah paragraf berdasarkan arti kata-kata tersebut. Tentu saja dalam kegiatan tersebut saya terus berusaha membimbing siswa yang masih merasa kesulitan merangkaikan kata-kata ke dalam kalimat yang luwes.
            Kemudian, saya minta beberapa siswa membacakan hasil karangan atau parafrasenya di depan kelas. Berdasarkan parafrase itu para siswa diajak untuk memaknai puisi yang
baru saja dibacanya. Sebagian siswa sudah mampu membuat parafrase yang cukup baik, namun masih ada juga yang belum. Tapi itulah yang sudah dapat diperoleh melalui pertemuan pada pagi itu.
            Pada akhir pembelajaran setelah evaluasi dari dua puluh dua siswa, hanya 5 orang siswa yang mendapatkan nilai 80, 8 orang siswa mendapatkan nilai 75, 2 orang siswa mendapatkan nilai 65. Sementara 7 orang mendapatkan nilai 60.
            Setelah selesai pembelajaran ada beberapa pertanyaan yang mengendap dalam hati yang tak mampu terjawab. Mengapa tidak semua siswa bisa memparafrasekan puisi secara baik ? Apa upaya yang sebaiknya dilakukan oleh saya agar pembelajaran apresiasi puisi ini bisa berhasil lebih baik lagi ! Apakah kondisi kelas yang tidak kondusif ini juga menyebabkan siswa jadi susah untuk berfikir?
                               


                               
                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar