Menulis bukanlah hal
yang asing bagi kita, bukanlah sesuatu yang baru kita dengar ataupun hal yang baru
kita jumpai, namun bagi sebagian orang menulis bukanlah hal yang disukai bahkan
dianggap momok yang menakutkan, pekerjaan yang sulit, dan terkadang kita merasa
bingung harus mulai dari mana merangkai kata agar menjadi bahasa yang menarik
untuk dinikmati oleh pembaca.
Menulis dapat
didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan dengan menggunakan
bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Dalam komunikasi tulis paling tidak
terdapat empat unsur yang terlibat: penulis sebagai penyampai pesan, pesan atau
isi tulisan, saluran atau media berupa tulisan dan pembaca sebagai penerima
pesan. Dalam menulis kita harus memperhatikan siapa pembaca yang akan membaca
tulisan kita sehingga apa yang kita tulis dapat bermanfaat atau setidaknya
memberikan informasi.
Menulis biasanya
diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran tersebut
terbagi menjadi membaca, menulis, mendengarkan dan apresiasi sastra. Hingga mau
tidak mau seorang siswa sekolah dasar dituntut untuk bisa menulis entah itu
menulis sebuah karangan, membuat puisi, surat undangan, dll, namun coba kita
bayangkan kalau guru bahasa Indonesianya sendiri tidak menyukai atau tidak
pernah menulis, bagaimana dengan muridnya? Bagaimana cara guru tersebut
mengajarkan menulis atau memupuk kegemaran menulis kepada muridnya?. Bila
dikaji secara mendalam pertanyaan tersebut merupakan hal yang khonyol sekaligus
menggelitik untuk direnungkan.
Untuk mengajarkan
menulis bagi anak sekolah dasar bukanlah hal yang mudah karena sebagian dari
mereka menganggap pelajaran ini membosankan dan menjenuhkan, disamping itu juga
guru kurang menguasai materi dan dalam mengolah pelajaran ini tidak menggunakan
metode yang tepat hingga siswa tidak tertarik untuk mengikutinya. Menurut Smith
(1981) mengatakan bahwa pengalaman belajar menulis yang dialami siswa di
sekolah tidak terlepas dari kondisi gurunya sendiri. Umumnya guru tidak dipersiapkan
untuk terampil menulis dan mengajarkannya. Karena itu, untuk menutupi keadaan
yang sesungguhnya muncullah berbagai mitos atau pendapat yang keliru tentang
menulis dan pembelajarannya. Mitos tersebut sebagai berikut,
1.
Menulis
itu mudah
Teori
menulis atau mengarang, memang mudah. Gampang dihafal. Tetapi, menulis bukanlah
sekedar teori, melainkan keterampilan. Bahkan, ada seni atau art di dalamnya.
Seseorang tidak akan pernah mampu menulis dengan baik tanpa dilibatkan secara
langsung dalam kegiatan dan latihan menulis. Dia harus mencoba dan berlatih
berulang kali, memilih topik,
menentukan
tujuan, mengenali pembaca, mencari informasi pendukung, menyusun kerangka
karangan, serta menata dan menuangkan ide-idenya secara runtut dan tuntas dalam
racikan bahasa yang dipahami.
2.
Kemampuan
menggunakan unsur mekanik tulisan merupakan inti dari menulis
Dalam
menulis seseorang perlu memiliki keterampilan mekanik seperti penggunaan ejaan,
pemilihan kata, pengkalimatan, pengalineaan dan pewacanaan. Unsur mekanik
merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mengemas dan menyajikan isi
karangan agar dapat dipahami dengan baik oleh pembacanya.
3.
Menulis
itu harus sekali jadi
Menulis
merupakan sebuah proses yang melibatkan tahapan-tahapan, yaitu, tahap
prapenulisan, penulisan, serta penyuntingan, perbaikan dan penyempurnaan. Tidak
banyak orang yang dapat menulis sekali jadi. Bahkan, seorang penulis
professional sekalipun. Beberapa kali kita harus meremas kertas dan membuangnya
karena tidak puas. Padahal tulisan itu belum jadi, atau katakanlah sudah
selesai di tulis. Kita menulis, memperbaiki, mencoba menulis lagi, memperbaiki lagi, menulis lagi, hingga kita
anggap selesai.
4.
Orang
yang tak menyukai dan tak pernah menulis dapat mengajarkan menulis
Mungkinkah
orang yang tidak suka dan tidak pernah menyopir dapat mengajarkan menyopir
kepada orang lain? Jawabnya, tidak! Sulit membayangkan seorang guru yang takut
dan tidak suka menulis serta tidak memiliki pengalaman dan keterampilan menulis
dapat mengajar menulis kepada muridnya. Padahal minat dan kemauan siswa belajar
menulis tak lepas dari apa yang terjadi pada diri guru dan bagaimana dia
mengajarkannya.
Menulis itu bukanlah
sesuatu yang gampang, memerlukan latihan berulang-ulang kali agar kita bisa
menjadi seorang penulis yang baik, untuk itu bukanlah sesuatu yang bijaksana
apabila ada yang mengatakan lebih utama menguasai ejaan daripada keterampilan
menulis karena menguasai ejaan dapat kita pelajari pelan-pelan pada saat proses
mengedit tulisan.
Dalam mitos ketiga di
sebutkan bahwa menulis itu harus sekali jadi hal itu tidaklah benar karena
menulis adalah sebuah proses ada tahapan-tahapan tersendiri dan memerlukan
latihan yang terus menerus, untuk dapat menjadi sebuah tulisan yang baik tulis
saja inti dari apa yang ingin kita ungkapkan dalam tulisan. kemudian bisa kita
kembangkan esok atau lusa bila telah mendapat ide baru lagi, begitu seterusnya
hingga tulisan tersebut sempurna dan selesai.
Untuk menjadi
penulis yang baik bukan suatu hal yang mudah dan didapatkan dengan cara instan,
perlu latihan dan tekad yang bulat juga pantang menyerah apabila tulisan yang
kita buat tidak diterima oleh pembaca. Membiasakan diri berlatih, disiplin dan
komitmen yang tinggi kita dapat menjadi penulis yang handal dan professional.
Menulis juga dapat
meningkatkan kecerdasan, mengembangkan daya inisiatif dan krearivitas,
menumbuhkan keberanian serta mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan
informasi. Jadi jangan takut untuk menulis, mencoba adalah pengalaman berharga
dan guru yang baik untuk kita.
Referensi
Suparno, dkk. 2009. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar